Pendekatan
pragmatik adalah pendekatan yang
memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada
pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut dapat berupa tujuan politik, pendidikan,
moral, agama, maupun tujuan yang lain. Dalam praktiknya pendekatan ini
cenderung menilai karya sastra menurut keberhasilannya dalam mencapai tujuan
tertentu bagi pembacanya (Pradopo,1994).
Dalam praktiknya pedekatan ini mengkaji dan memahami karya
sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan pendidikan (ajaran) moral, agama,
maupun fungsi sosial lainnya. Semakin banyak nilai pendidikan moral atau agama
yang terdapat dalam karya sastra dan berguna bagi pembacanya, makin tinggi
nilai karya sastra tersebut.
Di Indonesia pendekatan ini pernah dianut oleh Sutan Takdir
Alisabana (pada masa pujangga baru) yang mengatakan bahwa karya sastra yang
baik haruslah yng memberikan manfaat bagi masyarakat, yang kemudian dikenang
dengan istilah “sastra bertendens” (Teeuw, 1978).
Sejumlah kasus pelanggaran oleh pemeritah dan aparat pada
masa orde baru terhadap karya-karya tersebut untuk dibaca atau dipentaskan di
depan masyarakat umum, misalnya drama-drama Riantiarno, juga menunjukkan
praktik kritik pragmatik. Sebab dalam pelarangan tersebut menunjukkan karya
sastra dinilai dalam hubungannya dengan dampak dan pengaruhnya bagi masyarakat.
Penerapaan pendekatan pragmatik misalnya memahami karya
sastra dalam hubungannya dengan nilai moral, religious, dan pendidikan, seperti
tampak pada judu-judul berikut. “ajaran moral dalam novel Siti Nurbaya”, “nilai
religious dan juga “nilai edukatif dalam novel Salah Asuhan”. Dari judu-judul
tersebut akan tampak bahwa dalam membahas dan menilai karya sastra kita kaitkan
nilai-nilai pendidikan, etika, dan religious.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar